Aku dan Suara Hatiku - 3

By Rhizia Syifa Fauziyah - Januari 22, 2013


Author : Rhizia Syifa Fauziyah

Sebelumnya di Part 2...

Aku menghabiskan sisa hari itu dengan membaca novelnya Ilana tan - Spring in london. Rasa kantuk mulai menjelajahiku di jam 22.00 WIB, tepat saat aku menarik selimut, handphoneku bergetar.

Bima
Selamat tidur Putri. Sekali lagi makasih untuk semuanya, untuk hari Minggu ini makasih J
Aku tersenyum melihatnya. Entah mengapa hanya dengan ia mengucapkan itu hatiku merasa senang. Aku membalas pesannya dan percakapan itu tidak berlanjut lagi.

Apa? Maksudmu, dia tidak membalas pesanmu lagi?

***
Ya, begitulah. Aneh bukan? Tapi, keesokannya ia menghubungiku. Walaupun hanya menanyakan apa yang sedang aku lakukan, kuakui aku sangat senang dan rasanya aku mulai sadar, aku memang benar-benar jatuh cinta pada Bima. Sampai hari sabtu datang, ia tidak menghubungiku lagi. Percakapan terkakhir kami, Bima menyuruhku tidur. Dan sejak malam itu, aku tidak berhubungan lagi dengannya. Mengirim sms pun dia tidak pernah. Apalagi di jejaring sosial. Malah kelihatannya dia sedang dekat dengan seseorang. Argh aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu adalah kesal, cemburu atau apa. Yang pasti aku sangat mencoba untuk menghiraukannya. Tapi tetap saja aku suka penasaran apa yang menjadi bahan obrolan mereka yang pada akhrinya itu membuatku menjadi kesal. Ya, aku sangat kesal sekali pada Bima. Dia plin plan.


Berarti, kau berhubungan dengannya hanya seminggu? Masalah perempuan itu, bersabarlah. Kau kan belum tau alasan Bima. Mungkin saja perempuan lain yang dekat dengannya itu hanya temannya/ sepupunya/ sahabatnya?


Ya, seminggu kurang. Ehm tidak, sepertinya aku salah presepsi. Aku yang terlalu ke-GR-an. Seharusnya aku tidak mengharapkan lebih dari itu.


Hei! Tapi dia sudah mengajakmu jalan.


Tidak tidak, mungkin dia menganggapku sepupunya/teman curhatnya. Masalah aku jalan dengannya itu sudah tidak penting lagi.


Lalu, ceritamu sudah selesai?


Sebenarnya belum, ceritanya masih panjang. Banyak hal yang harus kau ketahui lebih lanjut. Terutama tentang perempuan itu. Tapi ini akan memakan waktu yang lebih lama. Kau akan mendengarkanku?


Tentu saja! Ada apa dengan perempuan itu? Lanjutkan ceritamu, jangan membuatku penasaran.


Baiklah. Tapi aku bingung harus mulai darimana. Sungguh, kisahku ini seperti sinetron. Jika kuceritakan secara detail ini akan memakan waktu yang sangat panjang. Mungkin telingamu juga akan lelah mendengarkan ceritaku ini.


Berceritalah sesukamu. Keluarkan semua yang ingin kau katakan. Jangan di pendam, tidak baik. Itu hanya akan membebanimu. Lalu, bagaimana kelanjutannya?


Terimakasih. Perempuan itu teman seangkatanku. Ia di kelas XB, namanya Feby. Anaknya memang asyik di ajak ngobrol. Cantik. Pintar. Dan populer. Jadi, wajar saja Bima menyukainya.


Apa dia mengenalmu? Jangan kau bilang dia teman dekatmu.


Bukan, dia bukan teman dekatku. Feby memang mengenalku tapi hanya sebatas kenal. Anaknya baik, dia juga suka menyapaku. Tapi, akhir-akhir ini ia selalu terlihat agak kaku bila bertemu denganku. Apa mungkin Feby merasa tidak enak padaku? Jujur, aku memang kesal pada Bima soal hubungannya dengan Feby di jejaring sosial. Tapi aku sama sekali tidak membencinya. Aku juga tidak dendam pada Feby. Kurasa, perasaan membenci atau mendendam itu sangat konyol, apalagi hanya karena masalah laki-laki.


Ya, aku setuju denganmu. Lalu bagaimana? Cepatlah ke intinya.


Aku selalu berfikir positif dengan semua ini. Mungkin saja pada waktu lain Bima akan mengirim pesan/wall kepadaku. Tapi, ya memang kenyataanya begini, ia benar-benar tidak pernah menghubungiku lagi. Baik di sms-jejaring sosial. Aku tidak mengerti apa yang membuat Bima menjadi seperti ini. Apa ini ada hubungannya dengan hari dimana kami kencan? Apa aku berbuat salah padanya? Yang paling kubenci adalah ia tidak mengingat hari dimana usiaku bertambah. Sebenarnya, aku tidak apa-apa kalau pun Bima benar-benar lupa. Tapi setidaknya, ia menghubungiku. Aku ingin dia menghubungiku, walau itu hanya sekadar mengirim dinding/ menyukai statusku, aku hanya ingin itu saja, tidak lebih. Bagaimana pun juga Bima pernah mengenalku. Tapi sepertinya, ia memang benar-benar tidak ingin mengenalku lagi.  Mungkin, memang ini yang Bima inginkan.


Hei, kau tidak boleh berbicara seperti itu. Walau bagaimana pun, ia pernah mewarnai hidupmu. Tidak kah kau ingin mencari kebenarannya? Kurasa, ada sesuatu yang aneh.


Untuk apa? Aku sudah muak dengan Bima. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang aneh dengan semua ini. Aku sudah tidak mau mengenalnya lagi. Mendengar namanya saja sudah membuatku sakit! Apa kau tidak hancur merasakan yang seperti ini? Ini benar-benar sakit!


Aku merasakannya! Tapi aku juga merasakan bahwa semua ini tidak benar! Ini memang sakit, apalagi ini yang pertama kalinya. Dan yeah kau memang benar, ini sakit sekali.


Ya, sudahlah. Semuanya sudah jelas. Aku sudah bisa menebak ending ceritanya, sekarang. Apa yang Bima lakukan itu ibarat sedang mendownload --- 99% dan terputus begitu saja.


Kau benar. Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?


Entahlah. Rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini. Merestart hidupku dan kembali lagi dengan perasaan yang tenang. Tapi, menghilang dari dunia ini rasanya mustahil. Oh ya ada bagian yang belum ku ceritakan. Kau masih mau mendengarkanku kan?


Tentu saja.

*****BERSAMBUNG*****


Terimakasih telah menyempatkan waktumu untuk membaca cerpenku! Aku harap, ceritanya tidak membosankan JJJ

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar